Oleh Dinil Abrar Sulthani, M.Pd.I
Idul Adha adalah hari raya besar bagi umat Islam. Secara khusus, umat Islam di Indonesia hari Ahad 11 Agustus/10 Dzulhijjah memperingati hari besar tersebut. Amalan yang disyariatkan agama Islam adalah shalat Idul Adha berjamaah dan menyembelih hewan qurban. Di sisi lain, bulan Dzulhijjah ini ditandai dengan pelaksanaan rukun Islam yang ke 5, yaitu berhaji ke Baitullah bagi yang mampu. Mampu dalam hal kesehatan, kekuatan fisik dan mental, serta kemampuan finansial. Semua kemampuan itu akan terjadi jika Allah menghendaki atau mengizinkannya. Sebab, kemampuan tersebut berasal dari Allah Swt. Semua tergantung keputusan Allah untuk memanggil hamba-Nya untuk datang ke Rumah-Nya. Jika Dia berkehendak apapun kondisi Hamba-Nya, berhaji menjadi hal yang tetap akan terlaksana.
Memaknai hari Idul Adha ini, marilah kita susun langkah semangat taktis dalam 5 tahun ke depan. Artinya, kita mempersiapkan program terbaik di masa depan. Memperindah akhlak prilaku diri, berinteraksi terbaik dengan keluarga dan masyarakat. Artinya, tahun-tahun kedepannya harus lebih baik dari tahun ini. Hari ini bagi yang sudah berkurban, maka tetap dipertahankan pada tahun selanjutnya. Dan bagi yang belum berkurban mudah-mudahan tahun depan bisa berkurban. Tahun ini kita masih menyaksikan dan mendoakan suadara kita yang berhaji, mudah-mudahan di masa depan kita yang dipanggil Allah untuk berhaji. Pada kesempatan yang berharga ini kita dapat memaknai Idul Adha dalam 2 amalan utama :
1. Komunikasi
Memperbaiki komunikasi menjadi penting untuk diamalkan selama 5 tahun ke depan. Rujukan komunikasi ini dapat kita lihat dari percakapan Nabi Ibrahim dengan Nabi Ismail pada Qs. Ash-Shaffat/37 ayat 102. Seorang ayah berbicara kepada anaknya dengan lembut dan membuka ruang diskusi. Ayah meminta pendapat dan persetujuan anaknya tentang perintah Allah yang diterimanya. Kegundahan hati ayah yang susah karena diperintah mengurbankan anak kandung sendiri yang telah lama ditunggunya. Kepenatan hati itu diredam dengan kekuatan iman dan dengan khawatir dan sabar sang ayah berbicara kepada anaknya. Bukan memaksa dan bukan memarahi anaknya, tetapi ayahnya lemah lembut menyampaikannya. Maka sang anak tertegun dengan sikap ayahnya. Ia rela dijadikan objek kurban sebagaimana perintah Allah kepada ayahnya. Kerelaan dan kesabaran itu tentu berbalut keimanan. Permintaan yang tulus dari sang ayah mendapat sambutan yang tulus dari sang anak. Ucapan yang keluar dari hati akan sampai ke hati. Itulah yang sering diucapkan Buya Hamka dalam tulisan dakwahnya.
Kita lihat kejadian sekarang yang ada di media berita; televisi dan online. Sebagai contoh: Berita pada Tribun.com pada tanggal 31 Januari 2019, Seorang Anak di Jakarta Barat Bacok Ayahnya hingga Tewas, Alasanya hanya karena Malu Ditegur. Diceritakan, si anak lagi bersama temannya sedang servis TV, mereka dalam keadaan mabok. Lalu ayahnya datang menghampiri dan menegur anaknya. Maka kejadian naas pun terjadi. Kita tidak tahu benar pola komunikasi apa yang diucapkan orang tua kepada anaknya sehingga berujung hilang nyawa. Dan berita pada Detik.com pada tanggal 1 Agustus 2019, Tak Sengaja Bacok Mati Anaknya, Ayahnya di Garut di Tahan Polisi. Kejadian ini bermula, si anak mengadu kepada ayahnya karena sedang bertengkar dengan pemuda kampung sebelah. Tak sabar ayahnya bersama si anak mendatangi pemuda tersebut. Ternyata si ayah naik pitam hendak membacok si pemuda kampung, lalu anaknya melerai, dan sabetan parang mengenai leher anaknya sendiri.
Fenomena kejadian di atas adalah akibat komunikasi yang dipakai kurang baik. Ayah dan anak haruslah mengedepankan komunikasi yang bagus. Komunikasi yang mendamaikan hati, bukan memancing kemarahan dan emosi yang tinggi. Komunikasi hendaknya disampaikan dengan sopan dan santun. Salah satu pola komunikasi hendaknya merujuk yang dipraktikkan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail di atas. Dalam pikiran kita, sebenarnya Nabi Ibrahim bisa menyampaikan perintah kurban kepada anaknya dengan memaksa dan mengancam. Dan sebenarnya juga, Nabi Ismail bisa menolak permintaan ayahnya dengan membantah bahkan mengeluarkan kata sumpah serapah. Tetapi pilihan sikap mereka berbeda, komunikasi yang dipakai sangat sangat santun, saling menghargai, dan saling menyayangi.
Di dalam Alquran terdapat berbagai ungkapan untuk melakukan komunikasi yang terpuji, diantaranya:
Pada Qs.Annisa/4 : 5: Qaulan Ma’rufa (perkataan yang baik),
Pada Qs.Annisa/4 : 9 dan Qs.Al-Ahzab/33 : 70: Qaulan Sadida (perkataan yang jelas/benar),
Pada Qs.Annisa/4 : 63: Qaulan Baligha (perkataan yang komunikatif),
Pada Qs.Al-Isra’/17 : 23: Qaulan Karima (perkataan yang mulia),
Pada Qs.Al-Isra’/17 : 28: Qaulan Maysura (perkataan yang mudah),
Dan pada Qs.Thaha/20 : 44: Qaulan Layyina (perkataan lemah lembut).
Anjuran untuk berkomunikasi dengan orang lain: keluarga dan masyarakat, sudah terdapat perintah Allah di dalam Alquran, dan tugas kita bersama untuk secara sungguh-sungguh melaksanakannya. Berkomunikasi ini juga bentuk mengamalkan perintah hablun minannas. Perintah untuk selalu berbuat baik dengan sesama makhluk Allah Swt.
Satu poin penting lagi yang patut diperhatikan adalah kehadiran Ayah dalam diri seorang anak. Profil pertama dan idola pertama sang anak adalah ayahnya. Dari ayahnya, si anak belajar bijaksana dan ketepatan dalam mengambil keputusan, dan banyak lagi. Tetapi, banyak kita temukan masyarakat sekarang para ayah terjebak dalam rutinitas pekerjaan, sehingga tidak punya waktu lagi bermain dan bersama dengan anaknya. Bahkan sangat disayangkan, jika ada yang berpikir bahwa membimbing anak di rumah hanya tugas seorang ibu atau istrinya. Padahal membimbing dan mendidik adalah tugas bersama ayah dan ibu, pendekatan hati yang bersama. Jika ada hari ibu, maka hendaknya ada hari ayah. Mengusahakan ada satu hari penuh setiap pekan Ayah bersama anaknya, bermain dan bercerita bersama.
2. Mandiri
Mandiri dapat diartikan mampu berbuat secara merdeka sesuai kehendak diri. Melakukan sesuatu dengan hati sendiri, bukan karena paksaan dari orang lain. Mandiri ini beririsan juga dengan sikap kesadaran. Sadar melakukan diri dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan. Semangat Idul Adha juga mengajarkan sikap mandiri. Mandiri untuk menjadi pribadi yang beramal baik. Sebagai contoh, dengan semangat kurban maka tahun depan harus bisa berkurban, melihat orang berhaji maka 15 atau 20 tahun ke depan bisa juga berhaji. Tentu semua itu harus direncanakan dengan bijak dan teliti. Maka melalui semangat taktis 5 tahun ini kita bisa mewujudkan itu semua, amin.
Marilah kita lihat kisah perjuangan saudara kita tahun ini, Berita Detik.com tanggal 17 Juli 2019, Tukang Tambal Ban Naik Haji Setalah 15 Tahun Nabung di Bawah Kasur. Menurut pengakuannya, Bapak yang berdomisili di Sidoarjo-Jawa Timur dinyatakan berhaji bersama istrinya. Begitu juga berita yang dimuat Tribun Solo pada tanggal 8 Juli 2019, Pedagang Sayur Keliling Naik Haji: Sisihkan 10 Ribu Tiap Hari Selama 8 Tahun, Ibu ini juga sudah sejak kecil menginginkan naik haji dan Alhamdulillah terwujud pada tahun ini. Kisah-kisah perjuangan senada tentu banyak bisa kita dapati, bahkan mungkin ada di daerah tempat tinggal kita. Hanya saja yang terpantau media tidak semua yang menjangkau seluruh Indonesia.
Kutipan berita di atas, sebenarnya bisa juga kita tirukan dalam keseharian kita. Melalui program taktis 5 tahun kita akan coba perjuangkan dan berdoa semoga kita bisa mendaftar diri untuk pergi haji. Dan juga kita dapat mencanangkan bisa berkurban tiap tahun atau 2-3 tahun sekali. Tentu, kita menyadari bahwa berhaji adalah hak Allah untuk memanggil hamba-Nya. Orang yang sehat badannya, cukup finansialnya, dan masih usia muda jika belum ada panggilan Allah maka tidak bisa berangkat. Namun, walaupaun, Maaf orangnya disabilitas, dana pas-pas-an harus menabung dulu, sudah sangat tua jika Allah berkehendak maka akan bisa berhaji ke Rumah Allah. Karena daya dan upaya adalah hak mutlak kuasa pemberian Allah Swt.
Mungkin, kita pernah mendengar ada orang yang bisa berangkat haji tanpa finansial, menabung tidak, dan ia mudah berangkat haji. Dapat berkah, seperti ada orang kaya yang menghajikannya atau ada sebab lain. Namun kisah berhaji yang demikian sangat sulit ditemui, bisa jadi dari 10 orang jemaah haji hanya 1 atau 2 orang saja. Yang normal dalam pandangan kita bahwa berhaji bagi yang mampu, mampu kekuatan fisik dan kesehatan, dan juga membayar biaya pendafaran dan operasional berhaji yang jaraknya jauh antara Indonesia dengan Mekkah. Oleh karena itu perlu dipersiapkan dengan bijak yaitu salah satunya dengan menabung, seperti yang dicontohkan Tukang tambal ban dan Pedagang Sayur Keliling.
Sekarang mari kita berhitung selama 5 tahun ke depan:
Untuk Berhaji
Menabung selama 5 tahun, 5x12 bulan = 60 bulan. Anggap saja untuk mendaftar haji sebesar 35 juta/peserta. 35 juta dibagi (:) 60 bulan = 584 ribu. Agar mudah digenapkan saja dari 584 ribu menjadi 600 ribu yang harus ditabung perbulannya.
Jika disederhanakan perpekannya 600 ribu dibagi (:) 4 pekan = 150 ribu perpekannya. Lalu jika disederhanakan lagi 1 pekan (anggap 5 hari) maka tiap harinya menabung 30 ribu.
Insya Allah dengan menyisihkan pendapatan/gaji/honor boleh perbulan, boleh pula perpekan atau perharinya maka 5 tahun bisa daftar haji. Dan sambil menunggu masa panggilan haji yang cukup lama 15-20 tahun bisa memperbaiki diri dan memperbaiki amal ibadah.
Sebagai catatan: Program taktis 5 tahun ini hanya renungan khatib saja, jika terasa mampu finansial kita dapat mempersingkat programnnya atau jika terasa berat bisa menambah hitungan tahunnya. Misalkan menjadi 10 tahun, maka cukup dibagi 2 saja: perbulan yang 600ribu menjadi 300ribu, perpekan yang150ribu menjadi 75ribu, dan yang perhari 30hari menjadi 15ribu. Baik yang berusia tua dan muda sudah bisa merencanakan haji ke Baitullah.
Untuk Berkurban
Menabung selama 1 tahun atau 12 bulan. Anggap saja harga 1 ekor kambing 3 juta atau sapi 1/7 perorangnya bisa 3 juta pula. 3 juta dibagi (:) 12 bulan = 250 ribu. Selanjutnya, dapat kita lihat 1 bulan berjumlah 30 hari dan 31 hari, diambil saja hari efektifnya (hari kerja/hari sekolah) 25 hari/tiap bulan. Lalu jika disederhanakan 250ribu dibagi (:) 25 hari = 10ribu. Dengan demikian, perlu konsisten menabung maka setiap tahun dapat berkurban. Para pekerja, para karyawan, guru, dan ibu rumah tangga bisa berkurban. Bahkan anak yang sedang sekolah juga bisa berkurban dengan cara tersebut. Misal, 2 orang kakak beradik berkomitmen mau berkuban di tahun depan, mereka harus menyisihkan uang jajannya 5ribu setiap hari. Dan orang tua dapat memotivasi dan menanamkan makna hemat, makna berbagi dan makna beibadah. Bersama menjadi ahli ibadah. Wallahu a’lam.
(disampaikan pada Khutbah Idul Adha, 11 Agustus 2019 di Masjid Mifathul Jannah Ceger, Jakarta Timur)