Learn 1 ; SABAR ADALAH OBAT PENAWAR KESULITAN
Sering kita mendengar orang di sekeliling kita mengucapkan kata sabar disaat terjadi suatu musibah dan kesusahan yang mendera. Sabar dimaknai menjadi obat penawar bagi setiap kesulitan yang dirasakan. Sabar menjadi pesan penting yang tidak ketinggalan guna menenangkan hati bagi orang yang membutuhkan perhatian dan kepedulian bagi dirinya. Hanya saja, jika itu terjadi pada diri anda tentu cerita ini akan berbeda kehendaknya. Karena bagi orang yang merasakan kesusahan, untaian kata seperti sabar tidaklah cukup baginya. Harusnya ada poin yang dilebihkan yaitu dengan menunjukkan sifat dan sikap empatik yang tinggi untuk melengkapi kebutuhan bagi siapapun yang membutuhkan.
Secara lebih mendalam, sabar merupakan manifestasi dari keimanan seseorang kepada Tuhannya. Sabar menunjukkan bukti atau tanda bahwa dirinya menerima semua ketentuan dan ketetapan dari sang Pencipta. Apakah itu meng-enakkan bagi dirinya ataupun tidak. Karena yang punya kuasa pada diri dan seluruh alam ini juga berpulang pada kehadirat-Nya. Kita sering menghitung-hitung sudah berapa banyak Tuhan sudah membantu ataupun kenapa Tuhan belum memberikan yang kita inginkan, selalu saja menjadi upaya “pembully-an kepada Tuhan”. Dengan kata lain, Tuhan menjadi sasaran empuk atas kekesalan, upatan karena tidak memihak terhadap keinginan hamba-Nya. Seyogyanya, kita harus menyadari bahwa bukan diri kita yang harus diprioritaskan terlebih dahulu, tetapi sejauhmana kita memaknai bahwa Tuhan mempunyai hak pada diri kita yang patut diberikan sekuat tenaga.
Sekarang coba direnungkan beberapa saat, mari mengukur diri dan melihat di sekililing kita. Akibat hilangnya makna kesabaran dalam hidup semakin memperparah dan memperkeruh keadaan. Lihatlah ketika kesabaran itu menjauh, konflik dalam keluarga yang sebelumnya kecil berkembang menjadi besar, candaan dan gurauan yang bergelak tawa berubah menjadi petaka permusuhan, interaksi yang berujung kompetisi menjadi sebuah persaingan yang menghalalkan segala cara, beragamnya sikap peserta didik di dalam kelas menjadi ladang pelampiasan kekesalaan dari para pendidik, anak-anak yang hingar-bingar bermain berujung pada marahan dan siksaan dari orang tuanya. Kenapa semua ini terjadi? Karena semua mengukur nilai dan evaluasi secara subjektivitas. Dengan perkataan lain, suatu standar penilain kebiasaan dan kepatutan adalah hak prerogatif pribadi.
Lebih jauh, mari kita skemakan mutiara sabar ini menjadi penolong seperti sebuah cahaya di dalam gua. Menjadi penerang dalam kegelapan, pengobat rindu bagi jiwa yang kacau, pelepas dahaga bagi mereka yang kehausan religiusitas akibat meminum air laut keegoisan. Dalam hal ini, orang tua hendaknya menyadari bahwa bermain adalah dunia anak, berlari-lari bercanda ria bukan untuk dilarang tetapi tetap sabar dalam membimbing dan mengarahkannya. Guru menjadi mediator dan fasilitator bagi peserta didiknya yang memiliki multi-sikap, multi-potensi guna membawanya pada jalur kebenaran hakiki, suami-istri menyelesaikan permasalahan keluarga dan kebahagian dengan memaknai kebutuhan bersama, interaksi sosial dilakukan menjunjung semangat dialogis yang ramah dan kebermanfaatan. Kenapa sabar bisa menjadi lampu kehidupan? Karena kita memaknainya dengan penuh kerelaan kepada keputusan Tuhan. Apapun aktivitas anda, sabar adalah teman terbaik.
Mari kita simpulkan bersama, panjang-lebar sudah diungkap dibeberap paragraf di atas. Walaupun kenyataannya masih belum cukup. Karena capaian kecukupan adalah sejauh apa kita dapat memaknai arti sabar dalam hidup. Sabar bukan barang baru yang belum kita ketahui, bukan pula kata usang yang tidak patut menghiasi bahtera hidup ini. Tuhan sudah memesankan dalam firman suci-Nya, hadapilah hidupmu dengan sabar dan shalat (pengabdian). Pesan berharga ini patut menjadi renungan penting, karena dalam menjalani kehidupan ada saja ujian yang harus diselesaikan. Ujian itu dari Tuhan, berupa kesusahan dan kenikmatan. Di kala diri kita mendapat kesusahan maka sabar dan shalat menjadi obat penyembuhnya. Dan sewaktu kenikmatan itu menjadi sebuah kesadaran yang harus kita syukuri maka Tuhan akan menambahnya lebih banyak. Besok kita akan berbicara tentang syukur, insya Allah.
Sering kita mendengar orang di sekeliling kita mengucapkan kata sabar disaat terjadi suatu musibah dan kesusahan yang mendera. Sabar dimaknai menjadi obat penawar bagi setiap kesulitan yang dirasakan. Sabar menjadi pesan penting yang tidak ketinggalan guna menenangkan hati bagi orang yang membutuhkan perhatian dan kepedulian bagi dirinya. Hanya saja, jika itu terjadi pada diri anda tentu cerita ini akan berbeda kehendaknya. Karena bagi orang yang merasakan kesusahan, untaian kata seperti sabar tidaklah cukup baginya. Harusnya ada poin yang dilebihkan yaitu dengan menunjukkan sifat dan sikap empatik yang tinggi untuk melengkapi kebutuhan bagi siapapun yang membutuhkan.
Secara lebih mendalam, sabar merupakan manifestasi dari keimanan seseorang kepada Tuhannya. Sabar menunjukkan bukti atau tanda bahwa dirinya menerima semua ketentuan dan ketetapan dari sang Pencipta. Apakah itu meng-enakkan bagi dirinya ataupun tidak. Karena yang punya kuasa pada diri dan seluruh alam ini juga berpulang pada kehadirat-Nya. Kita sering menghitung-hitung sudah berapa banyak Tuhan sudah membantu ataupun kenapa Tuhan belum memberikan yang kita inginkan, selalu saja menjadi upaya “pembully-an kepada Tuhan”. Dengan kata lain, Tuhan menjadi sasaran empuk atas kekesalan, upatan karena tidak memihak terhadap keinginan hamba-Nya. Seyogyanya, kita harus menyadari bahwa bukan diri kita yang harus diprioritaskan terlebih dahulu, tetapi sejauhmana kita memaknai bahwa Tuhan mempunyai hak pada diri kita yang patut diberikan sekuat tenaga.
Sekarang coba direnungkan beberapa saat, mari mengukur diri dan melihat di sekililing kita. Akibat hilangnya makna kesabaran dalam hidup semakin memperparah dan memperkeruh keadaan. Lihatlah ketika kesabaran itu menjauh, konflik dalam keluarga yang sebelumnya kecil berkembang menjadi besar, candaan dan gurauan yang bergelak tawa berubah menjadi petaka permusuhan, interaksi yang berujung kompetisi menjadi sebuah persaingan yang menghalalkan segala cara, beragamnya sikap peserta didik di dalam kelas menjadi ladang pelampiasan kekesalaan dari para pendidik, anak-anak yang hingar-bingar bermain berujung pada marahan dan siksaan dari orang tuanya. Kenapa semua ini terjadi? Karena semua mengukur nilai dan evaluasi secara subjektivitas. Dengan perkataan lain, suatu standar penilain kebiasaan dan kepatutan adalah hak prerogatif pribadi.
Lebih jauh, mari kita skemakan mutiara sabar ini menjadi penolong seperti sebuah cahaya di dalam gua. Menjadi penerang dalam kegelapan, pengobat rindu bagi jiwa yang kacau, pelepas dahaga bagi mereka yang kehausan religiusitas akibat meminum air laut keegoisan. Dalam hal ini, orang tua hendaknya menyadari bahwa bermain adalah dunia anak, berlari-lari bercanda ria bukan untuk dilarang tetapi tetap sabar dalam membimbing dan mengarahkannya. Guru menjadi mediator dan fasilitator bagi peserta didiknya yang memiliki multi-sikap, multi-potensi guna membawanya pada jalur kebenaran hakiki, suami-istri menyelesaikan permasalahan keluarga dan kebahagian dengan memaknai kebutuhan bersama, interaksi sosial dilakukan menjunjung semangat dialogis yang ramah dan kebermanfaatan. Kenapa sabar bisa menjadi lampu kehidupan? Karena kita memaknainya dengan penuh kerelaan kepada keputusan Tuhan. Apapun aktivitas anda, sabar adalah teman terbaik.
Mari kita simpulkan bersama, panjang-lebar sudah diungkap dibeberap paragraf di atas. Walaupun kenyataannya masih belum cukup. Karena capaian kecukupan adalah sejauh apa kita dapat memaknai arti sabar dalam hidup. Sabar bukan barang baru yang belum kita ketahui, bukan pula kata usang yang tidak patut menghiasi bahtera hidup ini. Tuhan sudah memesankan dalam firman suci-Nya, hadapilah hidupmu dengan sabar dan shalat (pengabdian). Pesan berharga ini patut menjadi renungan penting, karena dalam menjalani kehidupan ada saja ujian yang harus diselesaikan. Ujian itu dari Tuhan, berupa kesusahan dan kenikmatan. Di kala diri kita mendapat kesusahan maka sabar dan shalat menjadi obat penyembuhnya. Dan sewaktu kenikmatan itu menjadi sebuah kesadaran yang harus kita syukuri maka Tuhan akan menambahnya lebih banyak. Besok kita akan berbicara tentang syukur, insya Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar